Jumat, 11 Mei 2012

Tana Toraja

Tana Toraja is the home of Torajans

TANA TORAJA AND ITS PEOPLE

Geographical Position
Sulawesi Island
Tana Toraja is located in the mountainous region of the northern part of South Sulawesi Province of Indonesia. South Sulawesi is one of 6 provinces on Sulawesi island the K-shape island in the central part of Indonesia (see figure on the left). Prior to 2009 Tana Toraja is administratively one regency (kabupaten), however since 2009, the region was divided into two regencies namely Tana Toraja in the south with Makale as the capital and Toraja Utara in the north with Rantepao as the capital. In this document/blog, the two regencies will be called Tana Toraja. The people live in Tana Toraja is called Toraja.
Tana Toraja terletak di wilayah pengunungan bagian utara dari privinsi Sulawesi Selatan Indonesia. Sulawesi Selatan adalah salah satu dari 6 provinsi dari pulau Sulawesi yang berbentuk huruf K di bagian tengah Indonesia (lihat gambar di kiri). Sebelum 2009 Tana Toraja secara administratip terdiri dari satu kabupaten, akan tetapi sejak 2009 wilayah itu dibagi menjadi 2 kabupaten yaitu Tana Toraja di selatan dengan Makale sebagai ibu kota dan Toraja Utara di utara dengan ibu kota Rantepao. Dalam dokumen/blog ini, kedua kabupaten tersebut akan disebut Tana Toraja. Orang-orang yang mendiami Tana Toraja disebut orang Toraja.

Panoramic Beauty
Tana Toraja offers panoramic beauty - rocky mountains, green valleys decorated with paddy fields. At the bottom of the valleys, rivers with clear water (some of them) are flowing feely. Houses can be found practically any where - in the valleys, mountain slopes, and even on top of mountains. Roads are built in the valleys between mountains.
       Below are the pictures of the beautiful Tinoring mountain with paddy fields at its foot and Sampean village located on the east side. Visitors will find the mountain on the left side 8 kilometers before getting to Makale. A lot of stone graves can be found high up on the cliff at the far end of the mountain in Tinoring village.
Tana Toraja menawarkan panorama alam yang indah - gunung-gunung batu, lembah yang hijau dengan sawah. Di dasar lembah mengalir dengan bebas sungai-sungai dengan air yang jernih. Rumah-rumah dapat ditemukan di mana-mana - di lembah, lereng-lereng gunung, dan bahkan di puncak-puncak gunung. Jalan-jalan dibangun di lembah-lembah dengan diapit gunung-gunung yang tinggi. Berikut adalah gambar-gambar dari gunung Tinoring yang cantik dengan hamparan sawah di kakinya dengan desa Sampean di sisi sebelah timur. Pengunjung akan menemukan gunung Tinoring di sebelah kiri 8 kilometer sebelum sampai di Makale. Ada banyak kuburan batu di tebing yang tinggi pada ujung sebelah barat gunung Tinoring di desa Tinoring.







Tinoring mountain with paddy fields


Sampean village located at the east side of Tinoring mountain


The People
Tana Toraja is a home to Torajans with unique culture in particular their customs and traditions. Most Torajans nowadays are Christians (believers of Christ) because of the evangelization started in early 1990s – Protestants with various denominations about 70% and Catholics about 25% and others about 5%. The Dutch occupied Tana Toraja in 1914 - very soon after that the missionaries came to Tana Toraja. Prior to the arrival of the Dutch, the Torajans were the followers of what is called “aluk todolo” – the religion of the ancestor. They believed in the existence of god called “Puang Matua” – the Old King – who resides in the middle of the sky. The term “Puang Matua” was later adopted into Christianity for God.
        In 1600s Torajans were led by several brave men called "to pada tindo" - the men with the same dream to restore order. It seems that an external power - most likely the people from the low land - at that time came to Toraja to subdue the Torajans including changing their belief system, but they failed. For this reason until early 1900 - the arrival of the Dutch - the Torajans still maintain "aluk todolo". The missionaries that came along with the dutch successfully converted the Torajans into Christianity. It would be an interesting subject to study why Torajans adopted the Christianity relatively fast. However although nowadays no longer practice "aluk todolo" they maintain some of their ancestors' customs and traditions.
           Below are some typical modern Torajans.
Tana Toraja adalah rumah bagi orang-orang Toraja dengan budaya yang unik khususnya tradisi dan kebiasaan mereka. Kebanyakan orang Toraja sekarang ini memeluk agama Kristen (percaya akan Kristus) karena evangelisasi yang dimulai pada awal 1990an - Protestan dengan berbagai denominasi sekitar 70%, Katolik 25%, dan lainnya sekitar 5%. Orang Belanda menduduki Tana Toraja pada 1914 - tidak lama setelah itu para misionaris datang ke Tana Toraja. Sebelum kedatangan orang-orang Belanda, orang Toraja menganut apa yang disebut "aluk todolo" - agama nenek moyang. Mereka percaya akan adanya tuhan yang disebut "Puang Matua - Raja Tua - yang tinggal di tengah langit. Istilah "Puang Matua" kemudian diadopsi ke dalam agama Kristen untuk Tuhan.
        Pada 1600an orang-orang Toraja dibawah pimpinan sejumlah pemberani yang disebut "to pada tindo" - orang-orang dengan mimpi yang sama memulihkan keamanan. Kelihatannya ketika itu ada kekuatan luar - sangat besar kemungkinan orang-orang dari dataran rendah - datang ke Tana Toraja untuk menaklukkan orang-orang Toraja termasuk mencoba mengubah kepercayaan mereka, tetapi mereka tidak berhasil. Karena itu hingga awal 1900 - kedatangan orang Belanda - orang-orang Toraja masih memeluk "aluk To dolo". Para misionaris yang datang bersama dengan Belanda berhasil membawa orang-orang Toraja ke dalam kekristenan. Akan merupakan topik studi mengapa orang-orang Toraja cukup cepat mengadopsi kekristenan. Akan tetapi meskipun "aluk Todolo" tidak lagi dipraktekkan, orang-orang Toraja tetap memelihara sejumlah kebiasaan dan tradisi nenek moyang mereka.
        Di bawah ini beberapa wajah Toraja.


Max Trukbua' - retired Rantetayo junior highschool principal

Damaris Rantetana - a housewife - dressed up with typical Toraja's neclaces and earrings

Willybrordus Patandung - a retired army colonel - in coboy style hat

Takin a farmer - is wearing typical Toraja sarung

Several Torajan gentlemen - typical casual dresses

Several Torajan gentlemen - posing in casual outfit


Rukka - a farmer in typical Toraja sarung

Duma' - a sympathetic hard working farmer

Ne' Sapan - dressed up in typical Toraja shirt with neclases - is eating sirih

Ne' Sapan - about 100 years old - is showing a happy face with typical Toraja neclaces and earrings
Tominaa Ne' Kada'ke'/Ne' Taru - late former priest of Aluk Todolo

Houses and Paddy Barns
The houses of Torajans are unique – canoe type – almost every house is accompanied by one or more rice barns called “alang” (in Indonesia called "lumbung"). The houses are carved with rich motifs in four colors - black, red, yellow, and white. In the old days, the barns also fully carved were used to store dry paddy. An "alang" has other purpose, i.e to receive honored guests as well as a gathering place for family members (relatives). Nowadays the presence of "alang" mainly for decorative purpose as Torajans as almost all Inonesian do totally rely on the market system to manage the stock of rice. Actually the same is true for the traditional houses.
Rumah orang Toraja unik - berbentuk perahu - hampir setiap rumah didampingi satu atau lebih lumbung padi yang dalam bahasa Toraja disebut "alang". Rumah Toraja diukir dengan motif yang sangat kaya dengan 4 warna - hitam, merah, kuning, dan putih. Pada masa lalu, lumbung yang juga diukir biasanya digunakan untuk menyimpan padi. Lumbung juga mempunyai fungsi lain yaitu sebagai tempat menerima tamu terhormat dan juga tempat berkumpul keluarga. Sekarang ini keberadaan lumbung lebih banyak sebagai perhiasan karena orang Toraja seperti halnya orang-orang Indonesia lainnya sangat tergantung pada sistim pasar untuk memenuhi kebutuhan beras mereka. Kurang lebih sama halnya dengan rumah adat sekarang ini.

The front part of the old traditional house in Sassa - Pangrorean - Mengkendek
The old traditional house of Sassa with a rice barn

The old traditional house in Sillanan - Mengkendek

A paddy barn and several old traditional houses in the back in Sillanan
Customs and Traditions
The most unique custom and tradition of the Torajans is the way they treasure their loved ones when they pass away (die). It will a dishonor to the Torajans if they do not provide opportunities to their relatives, friends, and colleagues to come and pay tribute to the deceased, and some one that does not visit his/her deceased relative, friend, or colleague would be considered inconsiderate. And when they arrive they will bring along various items – buffaloes, pigs, rice, “tuak” – as signs of condolence. In order to treat those arriving to pay tribute in a proper and decent way, special huts (“lantang”) are constructed to receive the guests. Nowadays the huts are constructed in fancy ways – they look like rice barns.In a big ceremony – big family/the haves - it takes more than one days to receive guests. At end of the ceremony the body of the deceased is put into "liang" high up in the cliff.
Liang is still considered by most Torajans as the most proper eternal resting place for the deceased, as such they would try to move the buried family members into family "liang" as was done by the Rantetana family few years back, as shown in some of the pictures below.
Kebiasaan dan tradisi paling unik orang-orang Toraja adalah bagaimana mereka memperlakukan anggota keluarga yang meninggal dunia. Mereka akan kehilangan harga diri apabila mereka tidak memberikan kesempatan kepada anggota keluarga/famili, teman, dan kenalan untuk datang memberikan penghargaan kepada yang meninggal, sebaliknya seseorang yang tidak mengunjungi sanak-saudara yang meninggal akan dianggap tidak berperasaan. Dan ketika mereka berkunjung, mereka akan membawa sesuatu - kerbau, babi, ballok, beras/nasi- sebagai tanda turut berduka. Dan untuk menerima mereka yang datang/berkunjung/berbela sungkawa secara sopan santun, pondok-pondok dibangun untuk menerima mereka. Sekarang ini pondok-pondok tersebut dibangun dalam berbagai bentuk - menyerupai lumbung. Untuk suatu acara besar -keluarga besar/berada- biasanya waktu menerima tamu lebih dari satu hari. Pada akhir acara mayat dari yang meninggal akan dimasukkan dalam liang batu di tebing yang tinggi'
Bagi sebagian orang Toraja, liang masih dianggap tempat peristirahatan abadi yang paling baik, oleh karena itu mereka berusaha memindahkan anggota keluarga yang mungkin sudah dimakamkan di tempat lain sebelumnya ke dalam liang, seperti dilakukan keluarga Rantetana beberapa tahun yang lalu seperti terlihat dalam gambar berikut.



Tangti mountain - in the old days a "tongkonan" was located on top
of the mountain - the following picture.



The location of  Tongkonan Sanik - the owner built a small hut as a symbol of ownership

View from Sanik - on top of Tangti mountain.

Several "liang" on the cliff of Tangti mountain
The Rantetana Family are moving the remains of some family members into "liang"
Preparation is underway to bring the remains up into "liang"

The remains are carried up into "liang"
Traditional way of drinking "tuak"- local liquor - make sure not to get drunk sir!