BUFFALO ECONOMY


Buffalo Economy of Toraja
Ekonomi Kerbau Toraja

Means of Exchange/Alat Tukar
In the backward societies goods were exchenged directly, however as transactions became more sophisticated there was a need for a mean of exchange that would be accepted by everyone.  Various commodities were then used by various communities as a mean of exchange. As the structure of the economy became more complicated, money with its variations became the sole mean of exchange. Economic theory defines three criteria that need to be fulfilled by something that would be used as money, i.e. it can be used as a counting unit and for speculattion, and a mean to store value. Modern money such as Rupiah certainly meets these three criteria.
Dalam masyarakat terbelakang barang-barang dipertukarkan secara langsung, akan tetapi ketika transaksi menjadi lebih komplek muncul kebutuhan akan alat tukar yang dapat diterima semua orang. Berbagai benda kemudian digunakan oleh berbagai masyarakat sebagai alat tukar. Ketika struktur ekonomi menjadi lebih rumit, uang dengan variasinya menjadi alat tukar satu-satunya. Teori ekonomi mendefinisikan tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu benda untuk dapat digunakan sebagai uang, yaitu, dapat digunakan sebagai alat hitung, dan untuk spekulasi, dan sebagai alat untuk menyimpan kekayaan. Uang moderen seperti Rupiah tentu saja memenuhi ketiga kriteria ini.

The introduction modern money very soon eliminated the traditional means of exchange. Practically all communities in Indonesia have fully embraced the modern way of conducting transactions. This is however not necessarily true with Torajan communities. The introduction of modern money by the Dutch in early 1900 did not change the traditional way of conducting certain types of transactions even until today.
Pengenalan uang moderen secara cepat menghilangakan alat tukar tradisional. Semua komunitas di Indonesia praktis sudah menggunakan cara moderen bertransaksi. Hal ini tidak sepenuhnya benar untuk masyarakat Toraja. Pengenalan uang moderen oleh Belanda pada awal 1900 tidak mengubah cara bertransaksi untuk transaksi tertentu hingga hari ini.

Buffaloes as a Mean of Exchange/Kerbau sebagai Alat Tukar
Buffaloe has a very important role in the livelihood of Toraja people. It indicates wealth and social status. The Torajan value one head buffaloe not on its  weight (meat) as most communities would do, but instead is based on her appearance, the length and shape of her horns, the overall shape of her body, and a number of other physical signs. The most valuable buffalo is the one with black skin dotted with white spots throughout its body. Such buffalo is called saleko or bonga sura’. The current market value of one head of saleko is as high as Rp 100 million (US$10,000). The conventional market (meat) value would be around Rp 10 million (US$1,000) assuming it weighs 200 kg at Rp 50,000 per kg. The next most valuable in line would be bonga ulu, a buffalo with dark skin over all with white stripes on the forehead. The completely white skin buffaloe (tedong bulan) is forbidden for any formal celebration. The nobles of Toraja are forbidden to eat the meat of such buffalo. This belief was rooted back in the Lakipadada legend of Toraja. According to this legend, Lakipadada was riding a white buffalo to cross an ocean on his  journey seeking for an eternal life, however, the buffaloe left him in the middle of the ocean for unclear reason, when he was still up in a reversely hanging tree eating fruits.
Kerbau mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Toraja. Kerbau melambangkan kekayaan dan status sosial. Orang Toraja menilai seekor kerbau tidak berdasarkan dagingnya (beratnya) sebagaimana dilakukan masyarakat lain, tetapi  yang dinilai adalah penampilannya, panjang dan bentuk tanduk, bentuk umum badannya, dan beberapa tanda fisik lainnya. Kerbau yang paling bernilai adalah kerbau belang - hitam berbintik putih disekujur tubuhnya, Kerbau sedemikian disebut "saleko" atau "bonga sura'". Harga pasar kerbau saleko sekarang ini tidak kurang dari Rp 100 juta. Harga pasar konvensional tidak lebih dari Rp10 juta dengan asumsi berat 200 kg dengan harga Rp 50.000 per kg. Kerbau yang paling bernilai berikutnya adalah "bonga ulu", yaitu kerbau dengan kulit hitam tetapi kepala putih dengan gores hitam. Kerbau putih seluruhnya atau disebut "bulan" tidak bernilai dan dilarang digunakan untuk acara apapun. Bahkan bangsawan Toraja dilarang mengkonsumsi kerbau sedemikian. Kepercayaan ini berakar pada legenda Lakipadada. Menurut legenda ini, Lakipadada mengendarai kerbau bulan menyeberangi lautan mencari kehidupan abadi (tidak mati), akan tetapi kerbau tersebut meninggalkannya ditenagh-tengah lautan ketika dia sedang makan buah diatas pohon yang tumbuh kebawah (terbalik) tanpa alasan yang jelas.                       

Tedong Bonga or Saleko - valued at around USD15,000
Buffalo plays central role in practically every walk of life of Torajan people. For example, the dowry of a matrimony is denominated in buffalo, the magnitude of a burial ceremony (rambu solo’) is indicated by the number of buffalo slaughtered, and the value of a piece of paddy land is also denominated in buffalo. Similarly many transactions were either directly or indirectly denominated in buffalo. The Torajans use buffalo as a mean of transaction along with the modern currency. In depth analysis would reveal that to some extend buffalo meets the modern criteria of money within Toraja communities as buffaloes can be used as counting unit, to store value, and for speculative motive, i.e. hedging for possible future loss.
Kerbau mempunyai peran sentral dalam setiap tahapan kehidupan orang Toraja. Misalnya mas kawin dihitung dalam kerbau, besar kecilnya acara kematian ditentukan oleh jumlah kerbau yang digunakan, dan nilai sebidang sawah juga dihitung dengan jumlah kerbau. Orang Toraja menggunakan kerbau sebagai alat tukar bersama-sama dengan uang moderen. Analisis mendalam akan menunjukkan bahwa bagi orang Toraja kerbau memenuhi kriteria uang moderen karena dapat digunakan sebagai alat hitung, menyimpan harta, dan untuk berspekulasi, yaitu mencegah kemungkinan kerugian pada waktu yang akan datang.

Buffaloes as Counting Unit/Kerbau sebagai Unit Hitung
        The Torajan use bafffaloe to denominate their assets. The value of a certain asset would be calculated in terms of either the number of heads of buffalo of certain size or fractions of one head of a certain size. The size of a buffalo would be measured not in terms of her weight but by the length of her horn measured using man’s arm. The smallest one is sang kumabe’ which is from the end of the middle finger until the center of the palm (15-20 cm), the next one is sang lengo which is from the top of middle finger to the wrist (20-25 cm), the next one is sangsiku is from the top of the middle finger to the elbow (30-40 cm), the next one is sangda’pa which from end to end of the two arms (200-250 cm).  Fraction of one head of buffalo is also used to value an asset. In this case the first fraction will be sang sese which is one-half, the next one is sang tepo which is one quarter.
            Orang Toraja menggunakan kerbau untuk menentukan nilai suatu asset khususnya sawah atau kebun. Nilai suatu asset akan dihitung berdasarkan jumlah kerbau untuk ukuran tertentu atau pecahan seekor kerbau ukuran tertentu. Ukuran kerbau tidak berdasarkan beratnya tetapi panjang tanduknya yang diukur menggunakan tangan orang dewasa. Yang paling kecil adalan "sang kumabe'" yaitu dari ujung jari tengah ke tengah telapak tangan (jari merapat ketika mengepal tangan) yaitu 15-20 cm, berikut adalah "sang lengo" yaitu dari ujung jari tengah hingga pergelangan tangan (20-25 cm), selanjutnya adalah "sang siku" yaitu dari ujung jari tengah hingga siku (30-40 cm), dan selanjutnya adalah "sanga da'pa", yaitu ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan (150-200 cm). Pecahan kerbau juga digunakan menilai asset yaitu "sang sese" (setengah), "sang tepo" (seperempat), dan seterusnya.

         One’s wealth is denominated in buffalo, for example the value of one piece of paddy land will be denominated in so many buffaloes of cetain size, for example 10 sanglengo buffaloe. Borrows and lending among Torajan quite often are also denominated in buffaloe. If some one is borrowing some  money from some one else, the loan would be denominated in certain number of buffaloes of certain size, for example, two sangsiku buffaloe i.e the quivalent value of the loan is two buffaloes of sangsiku size of the prevailing market price.
          Harta seseorang dapat pula dihitung dengan jumlah kerbau, misalnya nilai sebuah sawah dinyatakan dalam jumlah kerbau ukuran tertentu, misalnya 10 kerbau ukuran "sang lengo". Pinjam meminjam di antara orang Toraja biasanya dihitung dalam jumlah kerbau. Jika seseorang meminjam uang, pinjaman tersebut akan dikonversi ke dalam kerbau pada harga pasar yang berlaku, misalnya pinjaman Rp30 juta akan dinilai dengan dua kerbau ukuran "sang siku" bila harga pasar kerbau "sang siku" adalah Rp 15 juta per ekor. Dengan demikian nilai riil dari pinjaman tersebut akan tetap, karena apabila harga pasar kerbau sang siku naik menjadi Rp 20 juta maka apabila hutang tersebut hendak dilunasi dalam bentuk tunai maka harus dikembalikan sebesar Rp 20 juta.

        Buffaloes are also used to calculate the wage of doing certain works. For example the wage for carpenters to work on one lumbung will be four   buffaloes of sanglengo. Similarly the wage for the people putting up gold decoration on the coffin of a deceased will be denominated in buffalo, for example two sanglengo buffalo. This means that at the end of the work the person will be paid two buffalo of size sanglengo.
         Kerbau juga digunakan untuk menghitung upah pekerjaan tertentu. Misalnya upah tukang untuk membuat sebuah lumbung adalah 4 ekor kerbau "sang lengo". Sama halnya dengan upah pandai emas yang memasang dekorasi emas pada peti mayat dinilai dalam kerbau, misalnya dua kerbang "sang lengo". Ini berarti bahwa pada akhir pekerjaannya dia akan dibayar dengan dua ekor kerbau ukuran "sang lengo".

Buffaloes to Store Value/Kerbau sebagai Harta
        Buffalo is considered by Torajan as one of the most liquid asset. As such some one owning large number of buffaloes would be considered a rich person. One’s wealth is valued in terms of certain number of buffaloes. For example the value of a piece of paddy land is 100 buffaloes of sangsiku.  This means that that piece of paddy land worth 100 sangsiku buffalo.
Kerbau dianggap sebagai salah satu harta yang paling likuid bagi orang Toraja. Dengan demikian seseorang yang mempunyai banyak kerbau akan dianggap orang kaya. Di lain pihak harta seseorang biasanya dinilai dalam bentuk jumlah kerbau. Misalnya nilai sebidang sawah adalah 100 ekor kerbau "sang siku".

Buffaloes for Speculation/Kerbau untuk Spekulasi
         In order to prevent the declining value of cash in hand due to inflation, one would convert that cash into buffaloes hoping as well that the cash value of the buffalo will increase in the future.
Untuk mencegah turunnya nilai mata uang tunai karena inflasi, orang Toraja akan mengkonversi uang tunai yang dimiliki ke dalam kerbau.

Social Prestige/Prestise Sosial
      The magnitude of a funeral ceremony is denominated in the number of buffalo slaughtered throughout the event. This in particular true nowadays when the binding of traditional rules is getting weaker. In the old days the magnitude of funeral ceremonies were determined by the number of days and the number of buffaloes slaughtered. Usually the number of buffaloes slaughtered depends on the number of days of the event. The longer the ceremony, the larger the number of buffaloes sacrificed. Three nights ceremony would definitely slaughter less buffalo compared to seven nights ceremony. Meanwhile the number of nights for a certain ceremony depends on the social status of the deceased. The higher the social status the larger the number of buffalo slaughtered. However not all those of high social status have adequate wealth to put up a large ceremony. In this case they would be allowed to put up small ceremony with fewer nights.
Besar kecilnya sebuah acara pemakaman ditentukan oleh jumlah kerbau yang dikorbankan. Hal ini  terutama berlaku saat ini ketika ikatan aturan tradisional semakin lemah. Pada masa lalu besaran acara ditentukan oleh jumlah hari pelaksanaan acara dan jumlah kerbau yang dipotong. Biasanya jumlah kerbu yang dipotong tergantung pada jumlah hari pelaksanaan acara, dan ini sangat terkait dengan ritual yang dilaksanakan pada setiap hari pelaksanaan acara. Semakin lama acara berlangsung semakin banyak kerbau yang dikorbankan. Tiga hari acara tentu akan mengorbankan jumlah kerbau yang lebih sedkit dibandingkan dengan 7 hari acara. Sedangkan jumlah hari sangat ditentukan oleh status sosial yang meninggal. Semakin tinggi status sosial, semakin lama pelaksanaan acara, dan tentu saja semakin banyak kerbau yang dikorbankan. Akan tetapi tidak selalu orang yang berstatus sosial tinggi mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan acara besar. Mereka dibolehkan menyelenggarakan acara dengan jumlah hari yang lebih sedikit.

Time Value of Money/Nilai Waktu Uang
         The use of buffaloes as a mean of transactions and to denominate assets indicate that the Torajans have long realized the declining value of cash over time due to inflation. In this way the value of transactions or assets exchanged will always be valued at the prevailing market rates any time in the future. This is also an indication that the Torajans have practiced the speculative motive for long time.
Penggunaan kerbau untuk transaksi dan menilai asset menunjukkan bahwa orang-orang Toraja sejak lama sudah memahami penurunan nilai mata uang tunai karena inflasi. Dengan pola ini, nilai transaksi atau asset yang dipertukarkan akan selalu dinilai pada nilai pasar yang berlaku pada waktu yang akan datang. Dengan demikian asset tidak pernah mengalami penurunan nilai secara riil. Ini juga menunjukkan bahwa orang Toraja sudah menggunakan motivasi spekulasi .

Importing Buffaloes
It is really pity that nowadays almost all of buffaloes used for burial ceremonies are from outside Tana Toraja. They were brought in as far away as Flores Nusa Tenggara Timur. Some were imported from East Kalimantan and Central Sulawesi. The only reason for this to happen is because the rate of "disappearance" (killing) is much faster than the rate of reproduction. As there is no longer formal restriction on the number of buffaloes slaughtered in any ceremony, more and more buffaloes are slaughtered as more Torajans are getting wealthier. In the old days, the number of buffaloes sacrificed in a ceremony was determined by his/her social status (cast). It would be strictly forbidden to kill more buffaloes than allowed by his/her status.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar